Memahami Post-Power Syndrome
pada Orang yang Dicintai
Rudi, pemuda gagah berusia 23 tahun semakin hari semakin sebal saja melihat tingkah ayahnya. Bayangkan saja, siapa yang tidak sebal bila memiliki ayah yang sudah pensiun dan menganggur, tetapi bila berbicara selalu yang muluk-muluk. Ayahnya tak henti-hentinya bercerita tentang betapa hebatnya dia dulu ketika menjabat direktur utama dari sebuah perusahaan garmen di Surabaya. Seakan-akan dia tidak pernah sadar, bahwa cerita yang selalu diulang-ulangnya sudah puluhan kali keluar masuk telinga Rudi. Bila ditegur, ayahnya tidak bisa menerima dan menganggap Rudi belum berpengalaman atau masih bau kencur.
pada Orang yang Dicintai
Rudi, pemuda gagah berusia 23 tahun semakin hari semakin sebal saja melihat tingkah ayahnya. Bayangkan saja, siapa yang tidak sebal bila memiliki ayah yang sudah pensiun dan menganggur, tetapi bila berbicara selalu yang muluk-muluk. Ayahnya tak henti-hentinya bercerita tentang betapa hebatnya dia dulu ketika menjabat direktur utama dari sebuah perusahaan garmen di Surabaya. Seakan-akan dia tidak pernah sadar, bahwa cerita yang selalu diulang-ulangnya sudah puluhan kali keluar masuk telinga Rudi. Bila ditegur, ayahnya tidak bisa menerima dan menganggap Rudi belum berpengalaman atau masih bau kencur.
Bila teman-teman Rudi main ke rumah, ayahnya selalu memberikan "kuliah"
kepada teman-temannya supaya mereka mencontoh apa yang sudah dikerjakan ayahnya.
Bahkan bukan hanya di rumah, di lingkungan tetanggapun, ayah Rudi dikenal
sebagai "pengobral" cerita masa lalu yang sudah usang. Akibatnya, bukan hanya
Rudi saja yang jengkel, tetapi tetangganya yang sudah bosan mendengar cerita
ayahnya juga langsung menyingkir begitu melihat ayah Rudi datang.
Post-power syndrome, adalah gejala yang terjadi di mana penderita
hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (karirnya, kecantikannya,
ketampanannya, kecerdasannya, atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa
memandang realita yang ada saat ini. Seperti yang terjadi kepada ayah Rudi,
beliau mengalami post-power syndrome. Beliau selalu ingin mengungkapkan betapa
beliau begitu bangga akan masa lalunya yang dilaluinya dengan jerih payah yang
luar biasa (menurutnya).
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya post-power syndrome. Pensiun
dini dan PHK adalah salah satu dari faktor tersebut. Bila orang yang mendapatkan
pensiun dini tidak bisa menerima keadaan bahwa tenaganya sudah tidak dipakai
lagi, walaupun menurutnya dirinya masih bisa memberi kontribusi yang signifikan
kepada perusahaan, post-power syndrom akan dengan mudah menyerang. Apalagi bila
ternyata usianya sudah termasuk usia kurang produktif dan ditolak ketika melamar
di perusahaan lain, post-power syndrom yang menyerangnya akan semakin parah.
Kejadian traumatik juga menjadi salah satu penyebab terjadinya post-power
syndrome. Misalnya kecelakaan yang dialami oleh seorang pelari, yang menyebabkan
kakinya harus diamputasi. Bila dia tidak mampu menerima keadaan yang dialaminya,
dia akan mengalami post-power syndrome. Dan jika terus berlarut-larut, tidak
mustahil gangguan jiwa yang lebih berat akan dideritanya.
Post-power syndrome hampir selalu dialami terutama orang yang sudah lanjut
usia dan pensiun dari pekerjaannya. Hanya saja banyak orang yang berhasil
melalui fase ini dengan cepat dan dapat menerima kenyataan dengan hati yang
lapang. Tetapi pada kasus-kasus tertentu, dimana seseorang tidak mampu menerima
kenyataan yang ada, ditambah dengan tuntutan hidup yang terus mendesak, dan
dirinya adalah satu-satunya penopang hidup keluarga, resiko terjadinya
post-power syndrome yang berat semakin besar.
Beberapa kasus post-power syndrome yang berat diikuti oleh gangguan jiwa
seperti tidak bisa berpikir rasional dalam jangka waktu tertentu, depresi yang
berat, atau pada pribadi-pribadi introfert (tertutup) terjadi psikosomatik (sakit
yang disebabkan beban emosi yang tidak tersalurkan) yang parah.
Penanganan
Bila seorang penderita post-power syndrome dapat menemukan aktualisasi diri
yang baru, hal itu akan sangat menolong baginya. Misalnya seorang manajer yang
terkena PHK, tetapi bisa beraktualisasi diri di bisnis baru yang dirintisnya (agrobisnis
misalnya), ia akan terhindar dari resiko terserang post-power syndrome.
Di samping itu, dukungan lingkungan terdekat, dalam hal ini keluarga, dan
kematangan emosi seseorang sangat berpengaruh pada terlewatinya fase post-power
syndrome ini. Seseorang yang bisa menerima kenyataan dan keberadaannya dengan
baik akan lebih mampu melewati fase ini dibanding dengan seseorang yang memiliki
konflik emosi.
Dukungan dan pengertian dari orang-orang tercinta sangat membantu penderita.
Bila penderita melihat bahwa orang-orang yang dicintainya memahami dan mengerti
tentang keadaan dirinya, atau ketidak mampuannya mencari nafkah, ia akan lebih
bisa menerima keadaannya dan lebih mampu berpikir secara dingin. Hal itu akan
mengembalikan kreativitas dan produktifitasnya, meskipun tidak sehebat dulu.
Akan sangat berbeda hasilnya jika keluarga malah mengejek dan selalu
menyindirnya, menggerutu, bahkan mengolok-oloknya.
Post-power syndrome menyerang siapa saja, baik pria maupun wanita. Kematangan
emosi dan kehangatan keluarga sangat membantu untuk melewati fase ini. Dan satu
cara untuk mempersiapkan diri menghadapi post-power syndrome adalah gemar
menabung dan hidup sederhana. Karena bila post-power syndrome menyerang,
sementara penderita sudah terbiasa hidup mewah, akibatnya akan lebih parah.
Kebohongan dan Popularitas
Psikolog dari Universitas Massachusetts, Amerika Serikat, Robert S. Feldman menemukan adanya hubungan antara kebohongan dan popularitas di kalangan pelajar (anak muda). Penelitian yang dilakukan Robert S. Feldman ini dimuat dalam edisi terbaru Journal of Nonverbal Behavior.
Psikolog dari Universitas Massachusetts, Amerika Serikat, Robert S. Feldman menemukan adanya hubungan antara kebohongan dan popularitas di kalangan pelajar (anak muda). Penelitian yang dilakukan Robert S. Feldman ini dimuat dalam edisi terbaru Journal of Nonverbal Behavior.
"Kami menemukan bahwa kebohongan yang dilakukan oleh pelajar sebenarnya
menunjukkan bahwa pelajar tersebut memiliki kemampuan kontrol sosial yang tinggi",
demikian kata Feldman.
Feldman melakukan penelitian terhadap 32 orang tua pelajar tingkat menengah
dan atas yang berusia antara 11 hingga 16 tahun, dan memberikan kuesioner yang
berisi tentang berbagai informasi mengenai aktivitas anak-anak mereka, hubungan
sosial, serta kemampuan anak-anak mereka di sekolah. Berdasarkan atas data-data
itu, para pelajar dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang memiliki
tingkat sosialisasi yang rendah, dan kelompok yang memiliki tingkat sosialisasi
yang tinggi. Para pelajar dalam dua kelompok tersebut diminta satu persatu untuk
melakukan tes terhadap rasa yang sedap pada minuman yang manis, serta minuman
masam dan minuman yang tidak sedap. Kemudian mereka diminta untuk meyakinkan
para pengawas bahwa mereka menyukai atau tidak menyukai apa yang mereka minum.
Ini membuat para pelajar tersebut membuat satu pernyataan yang benar dan satu
pernyataan yang bohong.
Kegiatan itu direkam dalam bentuk video dan diedit secara seimbang menjadi
bagian-bagian tertentu. Kepada 48 orang mahasiswa diperlihatkan rekaman ke-64
kegiatan tes itu untuk mengevaluasi efektifitas para pelajar mengekspresikan
reaksi mereka saat mencicipi minuman yang disajikan dalam tes. Hasilnya ternyata
bertentangan dengan tes minum yang dilakukan, umur, jenis kelamin para pelajar
yang dites, dan kemampuan sosialisasi seperti yang dikatakan orang tua pra
pelajar yang menjalani tes.
"Kami ingin mendapatkan bahwa kemampuan sosialisasi yang tinggi akan membuat
seseorang lebih mudah memperdayakan orang lain, atau bahwa menjadi seorang
pembohong besar akan membuat seseorang semakin terkenal", kata Feldman.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
remaja adolesen lebih mampu melakukan kebohongan dibandingkan dengan
remaja yang lebih muda. Remaja putri juga didapati lebih bisa melakukan
kebohongan dibanding remaja pria. Pada semua tingkatan usia dan jenis kelamin,
mereka yang memiliki kemampuan sosialisasi yang lebih tinggi ternyata lebih
berpotesial untuk menjadi pembohong besar. Saat berbohong, mereka lebih mampu
mengendalikan ekspresi wajah, gerakan tubuh, intonasi suara, serta kontak mata.
Sedangkan mereka yang kurang bagus kemampuan sosialisasinya, mengalami banyak
kesulitan dalam mengontrol perilakunya saat berbohong.
"Penelitian ini menunjukkan kepada kita bahwa tidak realistis jika kita
selalu berharap bahwa manusia akan selalu berkata jujur. Sebenarnya kita tidak
ingin menerima kenyataan ini. Anak-anak pada usia muda berpikir untuk selalu
bersopan santun dan berkata manis dalam segala situasi, meskipun sebenarnya yang
mereka katakan bukanlah suatu kejujuran yang sebenarnya. Dengan begitu, mereka
dapat diterima dengan baik oleh lingkungannya, semakin mendapat tempat, dan
semakin populer", demikian kata Feldman.
Kenakalan Remaja
Ada seorang Ibu yang tinggal di Jakarta bercerita bahwa sejak maraknya kasus tawuran pelajar di Jakarta, Beliau mengambil inisiatif untuk mengantar dan menjemput anaknya yang sudah SMU, sebuah kebiasaan yang belum pernah Beliau lakukan sebelumnya. Bagaimana tidak ngeri, kalau pelajar yang tidak ikut-ikutan-pun ikut diserang ?
Ada seorang Ibu yang tinggal di Jakarta bercerita bahwa sejak maraknya kasus tawuran pelajar di Jakarta, Beliau mengambil inisiatif untuk mengantar dan menjemput anaknya yang sudah SMU, sebuah kebiasaan yang belum pernah Beliau lakukan sebelumnya. Bagaimana tidak ngeri, kalau pelajar yang tidak ikut-ikutan-pun ikut diserang ?
Mengapa para pelajar itu begitu sering tawuran, seakan-akan mereka sudah
tidak memiliki akal sehat, dan tidak bisa berpikir mana yang berguna dan mana
yang tidak ? Mengapa pula para remaja banyak yang terlibat narkoba dan seks
bebas ? Apa yang salah dari semua ini ?
Seperti yang sudah diulas dalam artikel lain di situs ini, remaja adalah
mereka yang berusia antara 12 - 21 tahun. Remaja akan mengalami periode
perkembangan fisik dan psikis sebagai berikut :
-
Masa Pra-pubertas (12 - 13 tahun)
-
Masa pubertas (14 - 16 tahun)
-
Masa akhir pubertas (17 - 18 tahun)
-
Dan periode remaja Adolesen (19 - 21 tahun)
Masa pra-pubertas (12 - 13 tahun)
Masa ini disebut juga masa pueral, yaitu masa peralihan dari
kanak-kanak ke remaja. Pada anak perempuan, masa ini lebih singkat dibandingkan
dengan anak laki-laki. Pada masa ini, terjadi perubahan yang besar pada remaja,
yaitu meningkatnya hormon seksualitas dan mulai berkembangnya organ-organ
seksual serta organ-organ reproduksi remaja. Di samping itu, perkembangan
intelektualitas yang sangat pesat jga terjadi pada fase ini. Akibatnya,
remaja-remaja ini cenderung bersikap suka mengkritik (karena merasa tahu
segalanya), yang sering diwujudkan dalam bentuk pembangkangan ataupun
pembantahan terhadap orang tua, mulai menyukai orang dewasa yang dianggapnya
baik, serta menjadikannya sebagai "hero" atau pujaannya. Perilaku ini akan
diikuti dengan meniru segala yang dilakukan oleh pujaannya, seperti model rambut,
gaya bicara, sampai dengan kebiasaan hidup pujaan tersebut.
Selain itu, pada masa ini remaja juga cenderung lebih berani mengutarakan
keinginan hatinya, lebih berani mengemukakan pendapatnya, bahkan akan
mempertahankan pendapatnya sekuat mungkin. Hal ini yang sering ditanggapi oleh
orang tua sebagai pembangkangan. Remaja tidak ingin diperlakukan sebagai anak
kecil lagi. Mereka lebih senang bergaul dengan kelompok yang dianggapnya sesuai
dengan kesenangannya. Mereka juga semakin berani menentang tradisi orang tua
yang dianggapnya kuno dan tidak/kurang berguna, maupun peraturan-peraturan yang
menurut mereka tidak beralasan, seperti tidak boleh mampir ke tempat lain
selepas sekolah, dan sebagainya. Mereka akan semakin kehilangan minat untuk
bergabung dalam kelompok sosial yang formal, dan cenderung bergabung dengan
teman-teman pilihannya. Misalnya, mereka akan memilih main ke tempat teman
karibnya daripada bersama keluarga berkunjung ke rumah saudara.
Tapi, pada saat yang sama, mereka juga butuh pertolongan dan bantuan yang
selalu siap sedia dari orang tuanya, jika mereka tidak mampu menjelmakan
keinginannya. Pada saat ini adalah saat yang kritis. Jika orang tua tidak mampu
memenuhi kebutuhan psikisnya untuk mengatasi konflik yang terjadi saat itu,
remaja akan mencarinya dari orang lain. Orang tua harus ingat, bahwa masalah
yang dihadapi remaja, meskipun bagi orang tua itu merupakan masalah sepele,
tetapi bagi remaja itu adalah masalah yang sangat-sangat berat. Orang tua tidak
boleh berpikir, "Ya ampun... itu kan hal kecil. Masa kamu tidak bisa
menyelesaikannya ? Bodoh sekali kamu !", dan sebagainya. Tetapi perhatian
seolah-olah orang tua mengerti bahwa masalah itu berat sekali bagi remajanya,
akan terekam dalam otak remaja itu bahwa orang tuanya adalah jalan keluar ang
terbaik baginya. Ini akan mempermudah orang tua untuk mengarahkan perkembangan
psikis anaknya.
Masa pubertas (14 - 16 tahun)
Masa ini disebut juga masa remaja awal, dimana perkembangan fisik
mereka begitu menonjol. Remaja sangat cemas akan perkembangan fisiknya,
sekaligus bangga bahwa hal itu menunjukkan bahwa ia memang bukan anak-anak lagi.
Pada masa ini, emosi remaja menjadi sangat labil akibat dari perkembangan
hormon-hormon seksualnya yang begitu pesat. Keinginan seksual juga mulai kuat
muncul pada masa ini. Pada remaja wanita ditandai dengan datangnya menstruasi
yang pertama, sedangkan pada remaja pris ditandai dengan datangnya mimpi basah
yang pertama. Remaja akan merasa bingung dan malu akan hal ini, sehingga orang
tua harus mendampinginya serta memberikan pengertian yang baik dan benar tentang
seksualitas. Jika hal ini gagal ditangani dengan baik, perkembangan psikis
mereka khususnya dalam hal pengenalan diri/gender dan seksualitasnya akan
terganggu. Kasus-kasus gay dan lesbi banyak diawali dengan gagalnya perkembangan
remaja pada tahap ini.
Di samping itu, remaja mulai mengerti tentang gengsi, penampilan, dan daya
tarik seksual. Karena kebingungan mereka ditambah labilnya emosi akibat pengaruh
perkembangan seksualitasnya, remaja sukar diselami perasaannya. Kadang mereka
bersikap kasar, kadang lembut. Kadang suka melamun, di lain waktu dia begitu
ceria. Perasaan sosial remaja di masa ini semakin kuat, dan mereka bergabung
dengan kelompok yang disukainya dan membuat peraturan-peraturan dengan
pikirannya sendiri.
Masa akhir pubertas (17 - 18 tahun)
Pada masa ini, remaja yang mampu melewati masa sebelumnya dengan baik, akan
dapat menerima kodratnya, baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Mereka juga
bangga karena tubuh mereka dianggap menentukan harga diri mereka. Masa ini
berlangsung sangat singkat. Pada remaja putri, masa ini berlangsung lebih
singkat daripada remaja pria, sehingga proses kedewasaan remaja putri lebih
cepat dicapai dibandingkan remaja pria. Umumnya kematangan fisik dan seksualitas
mereka sudah tercapai sepenuhnya. Namun kematangan psikologis belum tercapai
sepenuhnya.
Periode remaja Adolesen (19 - 21 tahun)
Pada periode ini umumnya remaja sudah mencapai kematangan yang sempurna, baik
segi fisik, emosi, maupun psikisnya. Mereka akan mempelajari berbagai macam hal
yang abstrak dan mulai memperjuangkan suatu idealisme yang didapat dari pikiran
mereka. Mereka mulai menyadari bahwa mengkritik itu lebih mudah daripada
menjalaninya. Sikapnya terhadap kehidupan mulai terlihat jelas, seperti
cita-citanya, minatnya, bakatnya, dan sebagainya. Arah kehidupannya serta
sifat-sifat yang menonjol akan terlihat jelas pada fase ini.
Kenakalan remaja
Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam
menjalani proses-proses perkembangan jiwanya, baik pada saat remaja maupun pada
masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkat,
dengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara
psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidak
terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja para pelakunya.
Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan
tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun trauma terhadap kondisi lingkungan,
seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri, dan sebagainya.
Mengatasi kenakalan remaja, berarti menata kembali emosi remaja yang
tercabik-cabik itu. Emosi dan perasaan mereka rusak karena merasa ditolak oleh
keluarga, orang tua, teman-teman, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya
proses perkembangan jiwa remaja tersebut. Trauma-trauma dalam hidupnya harus
diselesaikan, konflik-konflik psikologis yang menggantung harus diselesaikan,
dan mereka harus diberi lingkungan yang berbeda dari lingkungan sebelumnya.
Pertanyaannya : tugas siapa itu semua ? Orang tua-kah ? Sedangkan orang tua
sudah terlalu pusing memikirkan masalah pekerjaan dan beban hidup lainnya.
Saudaranya-kah ? Mereka juga punya masalah sendiri, bahkan mungkin mereka juga
memiliki masalah yang sama. Pemerintah-kah ? Atau siapa ? Tidak gampang untuk
menjawabnya. Tetapi, memberikan lingkungan yang baik sejak dini, disertai
pemahaman akan perkembangan anak-anak kita dengan baik, akan banyak membantu
mengurangi kenakalan remaja. Minimal tidak menambah jumlah kasus yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar